ASING DIDENGAR, ASIK DIUCAP

Pengaruh media sosial saat ini mengalami perkembangan dalam menyampaikan informasi, pada dasarnya masyarakat sulit terlepas dari media dan telah menjadi teman dalam keseharian, faktor tersebut menyebabkan media dengan mudah mempengaruhi cara berpikir masyarakat. Sering ditemukannya para pemuda, bahkan semua kalangan menggunakan media sosial sebagai sarana untuk menyampaikan kepentingan pikiran mereka. Berbagai macam rupa kita menemukan bahasa di dalam media sosial, mulai bahasa yang santun hingga sarkasme, dan bahasa yang lugas hingga ambiguitas. Bahasa menjadi alat paling efektif dalam komunikasi, sebab bahasa digunakan  setiap orang dalam berinteraksi dengan individu dengan individu maupun dengan kelompok orang.

Dalam pemakaiannya, bahasa menjadi sangat beragam di kalangan anak muda saat ini. Keragaman bahasa bergantung pada kebutuhan dan tujuan dari komunikasi, bahasa dalam lisan maupun tulisan merupakan ekspresi seseorang atas apa yang mereka rasakan, seiring berkembangnya peradaban manusia termasuk di Indonesia saat ini, masih seringnya ditemukannya masyarakat memilih cara dalam berkomunikasi, salah satu fenomena komunikasi yang paling pesat saat ini adalah penggunaan bahasa yang fleksibel dikalangan anak muda, yang seringkali disalurkan melaluu jejaring sosial Instagram, Tweter, Whatshapp, Facebook dan sebagainya.

Kemajuan teknologi yang semakin pesat, memaksa anak muda saat ini kurang memperdulikan Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia hanya sering  dijumpai ketika dalam suasana formal saja, seperti acara pelepasan mahasiswa wisuda, orang berpidato dan lain sebagainya. Dalam lingkungan sosial saat ini jarangnya masyarakat, terkhususnya anak remaja menggunakan bahasa yang baik dan benar dalam kesehariannya. Hal ini yang menjadikan bahasa pemuda Indonesia cenderung bersifat dinamis dan mudah berubah-ubah mengikuti fenomena bahasa yang berkembang di lingkungannya. Artinya, di satu pihak kita menginginkan bahasa Indonesia menjadi bahasa modern, namun di sisi lain kita telah memudarkan identitas dengan mengapresiasi bahasa gaul sebagai lambang anak kekinian. Lantas tidak heran jika pemuda saat ini lebih memilih bahasa gaul sebagai bahasa keseharian agar dikatakan tidak ketinggalan zaman. 

Belakangan ini, masyarakat diramaikan berita di media sosial penggunaan kata "anjay". Istilah yang sering digunakan untuk mengungkapkan suatu ekspresi dalam bertutur menjadi kontroversi. Kontroversi tersebut mulanya disuarakan oleh salah satu publik figur yang berpendapat, kata 'anjay' sebaiknya tidak digunakan dalam tuturan karena dianggap dapat merusak generasi muda bangsa ini. Namun pernyataan itu mendapatkan respons oleh kalangan masyarakat terhadap pernyataan tersebut.

So, ayo kita bersama-sama membahas penggunaan kata 'anjay' ini tanpa menyudutkan salahsatu pihak dan dilihat dari perspektif konteks yang digunakan. Menurut pandangan saya, kata 'anjay' sebagai ungkapan dalam suatu kekaguman seseorang tidaklah menjadi masalah. Artinya jika seseorang menonton bola, kemudian idolanya mencetak goal, lalu orang itu teriak "anjay" itu tidaklah masalah. Karena hal tersebut spontanitas respons gembira seseorang terhadap sesuatu yang dilihat. Tidak hanya itu, bahkan sebutan 'anjay' kepada sahabat yang telah lama tidak bertemu juga tidak menjadi persoalan. "Ketika dua pemuda bersahabat  bertemu dan menyapa dengan teriakan menggunakan kata-kata buruk, namun disambut dengan tertawa, maka sapaan itu tidaklah tergolong bentuk kekerasan. Terkadang ujaran kita memiliki maksud yang berlawanan, manusia berbicara sesuai apa yang ia maksud dan memiliki maksud dari apa yang mereka omongkan.

Sama halnya dengan kata "gabut" yang biasa kita dengar dengan 'gaji buta'. Pada awal kata itu, kita gunakan untuk mengarah pada tindakan 'tanpa usaha' namun hal tersebut dibayar atau dibayar tapi tidak ada kerjanya. Sebagai contoh dalam kehidupan sosial kita, yaitu tukang parkir yang duduk-duduk saja. Tidak mengarahkan parkir ketika berhenti, tidak merapikan parkiran, namun tiba-tiba meminta uang dua ribu. Karena jengkel atas kinerjanya kita biasa menyebut makan gaji buta (gabut).

Namun, adanya keanehan terjadi ketika melihat satpam sekolahan yang merapikan motor siswa/i berdasarkan merk dan warna motor tersebut, sejumlah pemuda memberikan pujian; gabut banget satpam itu, sampai segitunya menata motor siswa/i. Bukankah kerjaan yang dilakukan satpam itu justru penuh upaya, namun mengapa dikatakan gabut? Maksud dari pemuda itu mungkin dianggap satpam tersebut sangking tak ada kerjaan, ia membuat parkiran menjadi lebih tertata dan terlihat keren. Namun, hal tersebut membuat kita menjadi tahu bahwa makna dari kata gabut menjadi makna sebaliknya. Begitupun dengan kata "anjay" yang maksud awal memberi umpatan ke seseorang. Dari pada menyebut kata ‘anj*ng’, jadi kata tersebut diperhalus menjadi "anjay". Namun seiring berjalannya waktu kata anjay tidak lagi untuk memberi umpatan kotor terhadap orang. Sebaliknya, anjay justru menjadi simbol kekaguman dan keakraban pemuda saat ini. Artinya sebuah kata melambangkan suatu ekspresi kepada seseorang dan dari satu kata itu bisa memiliki banyak maksud, bisa sebagai bentuk ekspresi tanda canda, bisa juga sebagai tanda kecewa, sebagai ekspresi tanda kedekatan emosional, dan bisa sebagai bentuk ekspresi emosional seseorang.

Fenomena seperti ini dianggap anak milenial sebagai bahasa gaul yang trend untuk digunakan dalam berkomunikasi. Namun, apa yang menjadi alasan anak milenial saat ini lebih memilih menggunakan bahasa kekinian? Melalui wawancara kepada anak muda sekarang, didapatkan beberapa alasan; Pertama, menggunakan bahasa kekinian dianggap lebih akrab di kalangan anak muda, sebab menggunakan bahasa Indonesia yang baku cenderung kaku dan tidak nyaman dalam berkomunikasi. Kedua; dianggap asing dan berlebihan jika menggunakan bahasa Indonesia ketika berkumpul dengan kawan-kawan.

Artinya pergeseran kata dalam budaya merupakan hal yang dianggap wajar-wajar saja dalam perkembangan bahasa pergaulan. Terkait dengan viralnya kata “anjay”, menyimpulkan bahwa jika penggunakan kata anjay memiliki berbagai makna tidak diperbolehkan atau dilarang dalam penggunaan pergaulan informal, maka ada banyak kosa kata dalam perkembangan bahasa Indonesia yang harus dilarang ataupun untuk dipermasalahkan. Sebab disitu adanya nilai norma sosial budaya yang telah disepakati oleh masyarakat yang juga harus diperhatikan, misalnya kata tersebut dipakai dalam suasana apa, kepada siapa dan dengan tujuan apa. Oleh karena itu penggunaan bahasa bergantung pada konteks yang sedang dibicarakan.





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SESAK LANGKAH KAU HENTAKKAN, RIUH PERIH KAU RASAKAN

KRITIK PUISI "TANGISKU PERTIWI" BERDASARKAN 'STRATA NORMA' ROMAN INGARDEN