KRITIK PUISI "TANGISKU PERTIWI" BERDASARKAN 'STRATA NORMA' ROMAN INGARDEN


SENYUM MAWAR HITAM DI ATAS KUBURAN

 
Karya sastra hakekatnya merupakan sebuah hasil imajinasi dari seorang pengarang. Karya sastra tidak hanya menampilkan keindahan seni saja, melainkan juga menampilkan pola kehidupan manusia serta segala permasalahannya.  Melalui karya sastra, seorang pengarang menyampaikan pandangannya tentang kehidupan yang ada di sekitarnya. Oleh sebab itu mengapresiasi karya sastra artinya berusaha menemukan nilai-nilai kehidupan yang tercemin dalam karya sastra. Banyak nilai-nilai kehidupan yang bisa ditemukan dalam karya sastra tersebut. Sastra berisi produk budaya manusia yang di dalamnya memiliki nilai-nilai hidup di masyarakat. Sastra sebagai hasil pengolahan jiwa pengarangnya, dihasilkan melalui suatu proses perenungan yang panjang mengenai hakikat hidup dan kehidupan. Sastra ditulis dengan penuh penghayatan dan sentuhan jiwa yang dikemas dalam imajinasi yang dalam tentang kehidupan (Rokhmansyah, 2013: 2).

Salah satu karya sastra yang memiliki keindahan yang diciptakan seorang sastrawan yaitu puisi yang merupakan uangkapan perasaan penulis yang menggunakan kata-kata yang indah dan penuh makna. Keindahan puisi dikarenakan adanya pemilihan diksi, majas, rima, dan irama yang tepat dalam puisi tersebut. Seorang pengarang mempunyai cara yang berbeda sesuai dengan perasaannya dalam menulis puisi. Maka dari itu ada pengarang yang mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata yang indah atau bermakna sebenarnya dan ada juga yang dengan terselubung. 
Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Jika dilihat dari kesejarahannya dari waktu ke waktu, puisi selalu ditulis mengalami perubahan, mengingat hakikatnya sebagai karya seni yang selalu terjadi ketergantungan antara konvensi dan pembaharuan (Teeuw, 1980:12). Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya (Rifaterre, 1978:1). Suatu karya baru bisa dikatakan memiliki nilai estetis apabila bentuk maupun isinya memiliki kesepadanan, dan dapat menimbulkan kesan yang mendalam dihati para pembacanya sebagai perwujudan nilai-nilai karya seni. Jika isi tulisan cukup baik, tetapi cara pengungkapan bahasanya buruk, karya tersebut tidak dapat disebut sebagai cipta sastra, begitu juga sebaliknya (Rahmawati, 2015:1). Maka adanya, seorang kritikus yang menjadi pengkritik baik maupun buruk sebuah karya sastra yang diciptakan oleh pengarang. Jika kritik sastra memang sebuah keharusan, tentu butuh pemikiran. Kritik yang sekedarnya, asal bunyi, dan sembarangan hanya akan meneror karya sastra (Endaswara, 2013:2).

Sebuah kritik harus melalui suatu proses penghayatan keindahan yang ada pada karya sastra yang dibuat oleh pengarang. Seorang kritikus bisa saja memperlihatkan hal yang lazim dalam karya sastra. Dengan kritikan, seorang sastrawan dapat belajar dari seorang kritikus, yang bertujuan untuk lebih meningkatkan kualitas bahasa dan memperluas pengetahuan kreativitas, dan kualitas karya sastranya. Jika seorang sastrawan mampu mengahasilkan karya-karya kreatif, dan karya yang bernilai tinggi, maka mungkin saja dengan karya yang baik yang bernilai tinggi dapat meningkatkan perkembangan suatu negara.

Seorang kritikus yang baik dalam mencari, menunjukkan, dan menentukan nilai baik dengan menganalisa maupun, perbandingan secara teoritis tidaklah berada jauh dari poetika pengarang, sehingga sastra dan kritik sastra tidaklah saling bertentangan (Hardjana, 1983:18). Penilaian terhadapat karya sastra akan terlaksana dengan baik, apabila diperhatikan susunan norma-norma karya sastra. Filsuf Polandia, Roman Ingarden membuat analisis karya sastra yang sangat orisinil dan teknis. Ia memakai metode fenomenologi dari Husserl untuk membedakan strata norma dalam karya sastra. Roman Ingarden (melalui Wellek, 1989: 186-187) menyebutkan strata norma dalam karya sastra meliputi lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia yang dilihat dari suatu titik pandang tertentu, dan lapis metafisika (Rokhmansyah, 2014 :109).


Tangisku Pertiwi

Engkau Gayuskan Indonesia yang Raya,
dari rintihan dan sayatan duka.
engkau Gayuskan Indonesia
dari mahalnya pangan.
engkau Gayuskan Indonesia,
dari mahalnya pendidikan.
engkau Gayuskan Indonesia,
dari hilangnya kejujuran.
engkau Gayuskan Indonesia,
dari jerit tangis rakyat jelata.
engkau rayakan Gayus,
untuk Indonesia menyanyi.
engkau rayakan Gayus,
untuk tangisan pertiwi.
hiduplah Gayus Gayus semesta,
menjeritlah Indonesia
Jerit disayat sembilu


Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Jadi lapis, bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, di sini bahasa indonesia. Hanya saja, dalam puisi pembicaraan bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau seni (Pradopo, 2014: 16).

 Bunyi di dalam puisi, pengarang menunjukan bunyi-bunyi yang istimewa pada tiap kata, baris, maupun bait puisi. Misalnya dalam bait pertama baris pertama ada asonansi bunyi a dan u, pada bait kedua ada aliterasi s yang berturut-turut: gayus, gayus, semesta. Begitu juga dalam bait kedua ada asonansi a dan u: gayus, gayus. Aliterasi r : dari, jerit, rakyat, bunyi ini yang di ciptakan pengarang menimbulkan irama tertentu. Serta efek bunyi kakofoni dan didominasi konsonan /k/ dan /s/, efek bunyi ini memiliki suasana kacau. Sebagaimana dalam puisinya, ia menggambarkan yang terjadi pada bangsa indonesia melalui kata ‘gayus’ yang merupakan simbol seorang koruptor, yang kita ketahui di Indonesia tidak asing lagi nama "Gayus", orang yang mengkorupsi uang negara untuk kepentingan pribadinya, dan sebagai penyebab menangisnya ‘ibu pertiwi’. Pengarang juga di dalam puisinya menggunakan rima yang menimbulkan keserasian, yaitu rima depan pada kata engkau, dibait pertama baris 1, 3, 5, 7, 9, 11, dan 13.

Pengarang selalu memperhitungkan nilai bunyi dan aspek puitisnya yang berirama dengan bahasa-bahasa yang mengandung pesan tersurat dan pesan tersirat. Bahasa puisi bisa menjadi puitis, karena para penyairnya tidak sembarangan dalam menulis karya puisinya (Wahyuni, 2008:13). Pada umumnya dalam sajak ini bunyi-bunyi yang dominan adalah vokal bersuara berat "a" dan u, dapat dilihat pada keseluruhan bait puisi yang dipergunakan pengarang sebagai rasa (klanksymboliek). Bunyi berat yang diciptakan oleh pengarang mewakilkan perasaan rakyat yang selama ini menderita, atas apa yang telah diperbuat oleh para koruptor terhadap negeri ini. 

Roman dalam teorinya lapis kedua merupakan lapis arti, yang mengartikan satuan-satuan makna dan pilihan kata dalam puisi. Analisis lapis arti dilakukan dengan mengartikan kata, frasa, atau kalimat secara harfiah atau secara umum dengan makna kata sebenarnya. Orang tidak dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang memiliki arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tidak memiliki makna. 

Sebelum mengkaji aspek- aspek lain dalam puisi, perlu terlebih dahulu puisi dikaji sebagai struktur yang bermakna dan bernilai estetis (Pradopo, 2014:1).  Melalui puisinya pengarang dalam bait pertama hingga di akhir, ia menggambarkan bangsa ini melalui kata “gayuskan”. Bahwasannya, kata “gayuskan” merupakan arti ‘tindakan korupsi’, kekejaman para koruptor  membuat tanah air ini menangis (menderita), mereka tidak memperdulikan sesamanya dari mahalnya pangan di lndonesia, sehingga mencekik perut kehidupan masyarakat. Hal seperti ini sudah terjadi  dari orde baru pada tahun 1962 hingga saat ini, orang-orang tidak bertanggung jawab seperti inilah yang menyebabkan ibu pertiwi terus menangis, karena banyaknya ketidakadilan di indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui masih banyak orang miskin begitu menderita dalam kehidupannya, banyak pekerja buruh yang semakin sengsara, banyak anak yang tidak mendapat kehidupan yang layak karena terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan, serta perekonomian yang semakin sulit, sementara banyak orang kaya terus memperkaya diri dengan mengorbankan sesamanya. Dapat dilihat pada kutipan:

/Engkau Gayuskan Indonesia yang Raya,/ /dari rintihan dan sayatan duka,/ dari mahalnya pangan,/ dari mahalnya pendidikan, /dari hilangnya kejujuran,/ dari jerit tangis rakyat jelata,/ untuk Indonesia menyanyi/ untuk tangisan pertiwi, /hiduplah Gayus Gayus semesta, /menjeritlah Indonesia, /Jerit disayat sembilu./”

Kalimat di atas, kita (pembaca) dapat merasakan bahwa dunia estetis penyair, tidak lain adalah koreksi terhadap dunia itu sendiri di tiap bait dan baris puisi, dapat ditebak dengan muda apa yang ingin disampaikan oleh penyair di dalam puisi ini. Pengarang menunjukan Gayus sebagai sosok pribadi kejam, menyelewengkan uang negara demi kepentingan pribadinya, tanpa melihat penderitaan yang dialami saudaranya di tanah negeri ini. Kemudian, jika dilihat dari judul puisi ini ‘Tangisku Pertiwi’ pengarang tidak secara menyeluruh menggambarkan tangisan Ibu Pertiwi, hanya sebatas lingkup korupsi. Hal ini, membuat pembaca tidak merasa puas, apa yang telah dimaksudkan oleh Si pengarang di balik puisinya. Bahwa yang kita ketahui `tangis pertiwi' bukan hanya sebatas korupsi saja. Ketika indonesia dilanda bencana alam di berbagai tempat atau kecelakaan banyak memakan banyak korban, dan jika dilihat dari kesejarahannya, sebelum merdeka bangsa ini dijajah ratusan tahun yang lalu, salah satunya oleh negara Belanda dan Jepang. Masyarakat Indonesia dipaksa bekerja oleh kaum kapitalis, bukannya mendapatkan hasil, mereka dipukul ditembak dan disiksa, banyak masyarakat indonesia saat itu mati. Dalam kondisi-kondisi seperti ini juga yang membuat ibu pertiwi menangis.

Lapis satuan arti menimbulkan lapis ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan latar pelaku dan dunia pengarang. Lapis ketiga ini merupakan hubungan antar objek, latar dan pelaku sehingga terciptanya dunia pengarang. Dengan berbekal kejujuran nuraninya, penyair selalu menghayati dan memberi kesaksian atas hidup, hidup jiwanya yang personal dan hidup kewadannya yang hidup antar desa dan kotanya (Sayuti, 2008:07).  Latar dalam puisi tersebut terjadi dalam sebuah negara yang penguasanya sering menyalahgunakan wewenang. Jika objek, dan latar pelaku digabungkan akan menghasilkan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah cerita yang digambarkan oleh pengarang melalui ‘gayus', sebagai berikut:

Pelaku yang ada di dalam puisi tersebut adalah para koruptor yang digambarkan oleh pengarang dengan menggunakan kata gayus, mereka adalah penguasa-penguasa yang telah menyalahgunakan suatu wewenang negara demi kepentingan pribadinya. Imaji dunia pengarang dibuat dengan perasaan penyair itu menyikapi hal yang dirasakan. Dalam puisi ini penyair menggambarkan kehidupan negaranya yang tertutup oleh ketidakaturan dan intimindasi. Ketidakaturan dan intimindasi yang dialami oleh penyair mengakibatkan kehidupan negaranya penuh dengan derita dan luka yang semakin parah dan semakin buas yang membuat menangisnya ibu pertiwi (tanah air).

Lapis dunia yang membentuk makna dalam sajak, lapis ‘dunia’ ini yang tidak perlu dinyatakan, namun sudah terkandung (Pradopo, 2014:18-19). Puisi Tangisku Pertiwi berarti sebagai ‘kesedihan tanah air’. Penyair ingin memperlihatkan kepada negaranya bahwa seseorang yang dipercayai belum tentu dapat diyakini.

Bait kedua menyuarakan gayus gayus  sebagai tanda para koruptor, merekalah yang melakukan penggelapkan uang-uang negara, namun karena kekuasaan yang dimiliki, mereka lebih didukung dan dibela oleh suatu negara.

      Bait ketiga pengarang menggambarkan sebuah negara yang telah dipotong tali pusatnya atau pemerintahan yang telah dikuasai para koruptor. Dalam puisi Tangisku Pertiwi karya Agus Dwi Utomo merupakan sebuah karya yang menyadarkan bahwa ketika ketatnya aturan, digalakkan bersamaan dengan korupsi akan sangat sulit untuk diselesaikan menuju kesempurnaan.

Roman dalam teorinya strata norma yang terakhir meliputi, lapis metafisika yang membentuk makna dalam puisi dan menyebabkan pembaca berkontemplasi atau pembaca mengalami renungan dan sebagainya dengan kebulatan pikiran atau perhatian penuh. (Pradopo, 2014:18-19). Ketika membaca sebuah puisi, sudah pasti pembaca merenungkan apa yang di maksud di dalam puisi maupun makna sebenarnya, di dalam puisi “Tangisku Pertiwi”. Pengarang dalam puisinya tidak secara langsung menyadarkan pembaca secara jelas, bahwa puisi ini menyangkut ideologi pancasila yang harus ditaati oleh masyarakat khususnya para koruptor, pengarang menggambarkan perspektif Ibu Pertiwi’ tarhadap budaya korupsi sangatlah memprihatinkan dengan ideologi pancasila. Sebagai bangsa yang baik harus mengimplementasikan secara baik dan benar pancasila sebagai pedoman berperilaku. Terutama dalam permasalahan korupsi, kita harus menanamkan prinsip bahwa korupsi sama halnya dengan pelanggaran terhadap pancasila yang menjadi pandangan hidup bangsa ini.A

Analisis strata norma dimaksudkan untuk mengetahui semua unsur karya sastra yang ada. Serta diketahui antara bunyi, arti, objek dan pelaku yang menimbulkan dunia pengarang, lapis dunia yang sudah implisit yang tidak perlu dinyatakan, dan lapis kelima yakni metafisik yang membuat pembaca berkontemplasi di dalam sajak Tangisku Pertiwi karya Agus Dwi Utomo. Dengan demikian, akan dapat diketahui unsur-unsur pembentuknya dengan jelas.


Judul "Senyum Mawar Hitam Di Atas Kuburan", digunakan untuk menggambarkan kehidupan berpolitik di Indonesia, orang-orang yang serakah dan hanya mementingkan dirinya, dan tak memperdulikan masyarakat (proletar) yang menginginkan kehidupan yang layak. Dengan ini pihak pemegang kekuasaan berbahagia di atas penderitaan masyarakat peoletar. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ASING DIDENGAR, ASIK DIUCAP

SESAK LANGKAH KAU HENTAKKAN, RIUH PERIH KAU RASAKAN